Saturday, January 23, 2010
Saturday, March 15, 2008
Kompas 15-Mar-08: Banjir Bandang di Puncak
KOMPAS/WISNU WIDIANTORO / Kompas Images Mahmud membersihkan lumpur dan batu yang terbawa banjir bandang dari dalam rumah milik saudaranya di Desa Tugu Selatan, Kampung Naringgul, Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bogor, Jumat (14/3). Banjir bandang akibat hujan deras di kawasan itu terjadi pada Rabu sore dan mengakibatkan 14 rumah rusak berat. |
Oleh Ratih P Sudarsono
Ny Siti Maesaroh (42) kini waswas terus. Ia bersama anak, menantu, dan cucunya belum berani tidur di rumahnya di Kampung Pensiunan, Desa Tugu Selatan, Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bogor. Di kawasan itu sebanyak 47 rumah diterjang banjir bandang pada Rabu (12/3) petang, termasuk rumah Maesaroh.
Rumah memang sudah dibersihkan, tetapi malam nanti (Jumat 14/3) kami pilih tidur di rumah saudara di atas. Kami masih trauma dengan banjir bandang kemarin. Rumah saya penuh dengan air. Tingginya sampai leher saya,” ujarnya.
Selain rumah di Kampung Pensiunan, empat rumah di Kampung Persit, di bawah kampung itu juga mengalami kerusakan akibat diterjang banjir bandang. Di Kampung Naringgul, yang berada di atas Kampung Pensiunan, banjir bandang menerjang 35 rumah, di mana 12 rumah di antaranya mengalami rusak berat.
Agus (26) mengatakan, dirinya mengalami sendiri diterjang banjir bandang itu. Namun, dirinya belum bisa percaya bencana banjir bandang menimpa kampungnya yang berada di kawasan Puncak.
”Air di situ berputar-putar, warnanya hitam pekat, lalu semakin besar dan merendam rumah di kiri-kanannya,” kata anak bungsu Maesaroh ini.
Ia menunjuk saluran air selebar kurang dari 2 meter dengan kedalaman juga kurang dari 2 meter yang hanya lima langkah dari depan rumahnya. Di saluran air yang ternyata Sungai Ciliwung tersebut ada jembatan dari semen selebar 1 meter yang menghubungkan kedua sisi sungai.
Kedua sisi sungai itu sudah ditembok dan bantarannya adalah jalan kampung yang sudah disemen atau langsung tembok rumah warga. Begitulah rata-rata kondisi bantaran Sungai Ciliwung yang melintas di Kampung Pensiunan.
Lebar sungai, setelah bantarannya berubah menjadi jalan warga atau rumah atau jalan, bervariasi, 1-2 meter. Kedalamannya pun bervariasi dari 0,5 meter sampai 5 meter.
Kampung itu pun berada di lahan miring, sebagaimana kontur lahan perbukitan kawasan puncak. Rumah-rumah penduduk di sana dibangun ”mengikuti” kontur lahan, yang tanpa perencanaan sebagaimana pertumbuhan kampung pada umumnya di Indonesia.
Kondisi Kampung Naringgul juga demikian. ”Seumur-umur saya tinggal di sini, baru kali ini ada banjir bandang di Puncak,” kata Ketua RT Dayat Hidayat
Selain merusak rumah, empat bak penampungan air bersih warga dan dua bangunan MCK warga kampung hilang diterjang banjir bandang tersebut. Kemarin puluhan warga kampung bahu-membahu memperbaiki aliran air Sungai Ciliwung.
Batu-batu dan material lainnya yang menimbun badan sungai dikeruk dan diangkat. Mereka juga menyedot air yang menggenangi penampungan air di pinggir jalan jalur Puncak.
”Di bawah badan jalan ini ada gorong-gorong dengan diameter 2 meter. Sekarang celah di gorong-gorong itu tinggal sejengkal. Kalau hujan deras lagi, kami khawatir air bencana bandang terjadi lagi,” katanya.
Tak mampu menampung
Bencana air bah terjadi di kampung tersebut setelah hujan lebat mengguyur kawasan Puncak dan Danau Telaga Warna tidak mampu menampung seluruh air yang masuk ke sana. Selain itu, aliran air Sungai Ciliwung berbelok akibat sejumlah ruas sungai tersumbat material berupa batu dan lainnya yang tergerus akibat hujan lebat.
Kerusakan kian menjadi parah akibat jembatan-jembatan di atas aliran sungai itu terlalu rendah. Hal itu mengakibatkan laju material yang terbawa arus terhambat sehingga terjadi penumpukan yang membuat air terbendung.
Kondisi ini paling mencolok terlihat di pinggir Jalan Raya Puncak setelah tikungan selepas Masjid Atta’awun dari arah Bogor. Di situ ”jembatan” dibuat di atas aliran air sungai. Jembatan itu bagian dari pembangunan jalan ke atas perkebunan teh.
Menurut Dayat dan warga lainnya di sana, yang membangun jalan itu adalah Arifin, mantan kepala desa di sana. Kalau kebun tehnya milik PT Sari Bumi Pakuan Ciliwung. ”Kami tidak tahu jalan itu akan menuju ke mana karena jalan baru dibuat dan di ujung jalan itu belum ada bangunan,” kata Dayat.
Selain jembatan itu sangat rendah, batu-batu yang akan dipakai untuk membuat jalan itu juga menyumbat aliran air sungai. Dengan demikian, aliran berbelok menyeberangi badan Jalan Raya puncak.
Air pun lalu meluncur ke perkampungan di bawah badan jalan. Hal itu mengakibatkan puluhan rumah penduduk rusak. Kini masyarakat yang menanggung bebannya.
Friday, March 14, 2008
Ir. Kamir R. Brata Msc: Atasi Banjir dengan Teknologi Lubang Serapan Biopori
Ayat Al-Quran itulah yang menjadi dasar Peneliti Institut Pertanian Bogor yang juga staf Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian IPB Ir. Kamir R. Brata, Msc mengembangkan penemuan ilmiahnya tentang Lubang Serapan Biopori untuk mencegah banjir. Ia juga memanfaatkan sampah organik, untuk menghidupkan mahkluk kecil dalam tanah yang berguna sebagai penghasil sumber air baru.
Teknologi ini diawali dengan pembuatan lubang sedalam 120 centimeter atau disesuaikan dengan jenis tanah, dengan diameter sekitar 10 centimeter. Langkah selanjutnya adalah memasukan sampah lapuk dua sampai tiga kilogram tergantung jenisnya ke dalam lubang tersebut, lalu tutup dengan kawat jaring agar orang yang menginjaknya tidak terperosok.
Teknologi ini menurut Kamir, bisa diterapkan diselokan yang seluruhnya tertutup semen ataupun dihalaman rumah. Air hujan yang masuk dengan mudah ketanah dan terserap ke dalam lubang yang bisa dibuat lebih dari satu itu. Bagaimana perjalanan Kamir R. Brata sampai menemukan teknologi Lubang Serapan Biopori ini? Berikut bincang-bincan eramuslim di tempat kediamannya di Bogor.
Sebenarnya apa yang mengilhami anda menemukan teknologi baru seperti ini?
Yang banyak terjadi sekarang para ahli dan orang selalu digoda setan, dan menggampangkan permasalahan yang bisa berdampak besar. Misalnya biar saja buang sedikit sampah ataupun air dari atas pegunungan. Sedikit mula-mula memang tidak membahayakan. Tetapi kalau semua melakukannya pasti akan terjadi musibah.
Saya selaku orang Muslim, menyadari bahwa pelaksanaan ibadah yang dilakukan harus disertai dengan ketaatan kita dalam menjalankan perintahNya. Hal itu dapat terlihat kalau kita tidak mentaati apa yang menjadi perintah Tuhan, Dia akan menurunkan berbagai cobaan dan musibah. Karena itu, sebagai seorang ahli yang mengetahui sistem ekologi tanah, di mana antara ekosistem antara makhluk hidup yang berada di dalam tanah dan makhluk yang tak hidupnya saling ketergantungan, maka kita perlu mengupayakan agar ekosistem tanah tetap utuh dan tidak rusak demi kelangsungan kedua jenis makhluk yang ada didalamnya.
Sampah yang kita buang, lama kelamaan semakin banyak dan akan menjadi beban bagi lingkungan, dan juga beban bagi manusia, karena tempat tinggalnya harus dipakai untuk membuang sampah. Banyak juga yang berinisiatif membuangnya kesungai ataupun saluran air, itupun akan menimbulkan dampak baru yakni meluapnya air sungai.
Karena itu saya berupaya mencari sebuah teknologi dan sebagai orang yang beragama pun saya terpanggil untuk melakukan perubahan. Kita memang sudah mengenal yang namanya sumur resapan air, tapi proses itu masih belum bisa mencegah kemubaziran, karena tanahnya, hasil galian yang tidak sedikit itu harus dibuang ke tempat lain. Selain itu air yang meresap tidak terlalu banyak, sangat sulit memeliharanya.
Atas pemikiran itu serta dengan alasan saya mengetahui makhluk Tuhan yang ada di dalam tanah perlu dibantu untuk terus mendapatkan makanan dari bahan organik, maka saya mencoba membuat Lubang Serapan Biopori ini.
Saya mencoba berpikir bahwa lubang-lubang kecil bisa dibuat oleh siapapun, katakanlah hutan yang tidak ada penghuninya saja mempunyai lubang-lubang kecil atau Biopori. Kenapa disebut Biopori, sebab lubang yang dibuat itu diisi dengan bahan organik, mulanya cacing, dan di situ tidak ada pencemaran, karena bahan organik semuanya akan larut dan hilang, dan di dalam lubang itu terdapat celah-celah cabang.
Dengan teknologi ini, kita membuat tempat untuk makhluk hidup untuk penyerapan air, dengan memanfaatkan apa yang harus kita buang. Namun yang tidak semua jenis sampah yang bisa ditampung, khusus sampah organik saja. Oleh karena itu yang paling dibutuhkan dalam penerapan teknologi ini adalah kesadaram untuk tidak membuang sampah karena sampah itu adalah sumber daya, apapun jenis sampahnya. Sampah yang tidak lapuk bisa dimanfaatkan oleh pemulung menjadi bahan industri.
Karena sejak awal saya memikirkan bahwa ini sangat mudah untuk diterapkan, maka tidak ada alasan bagi orang yang membuang sampah dan menggunakan air untuk tidak melakukannya. Artinya setiap orang yang menghasilkan sampah dan menggunkan air maka semua wajib memproses sampahnya sendiri, jangan dibuang ke tempat lain, demikian juga dengan air. Mau lahannya sudah ditutup oleh bangunan ataupun jalan, apalagi yang masih terbuka harus melakukan cara ini. Kenapa ini diwajibkan, jangankan yang tertutup dengan bidang kedap yang dibuat manusia, lahan pertanian dan perkebunan yang masih kosong saja teknologinya membuat kelebihan air untuk dibuang.
Dengan teknologi ini semua orang dapat memanfaatkan air yang sangat dibutuhkan oleh kehidupan di mana saja. Karena curah hujan ini tidak hanya jatuh dikawasan situ saja, sehingga yang paling gampang agar tidak membebani lingkungan, semua orang harus membuat peresapan itu dengan baik. Setelah saya terangkan dengan mudah, diharapkan ini bisa diterapkan oleh semua orang.
Air menjadi penyebab banjir kalau drainase tidak bisa menampung air saat itu. Jika hujan jatuh secara merata bukan di sungai, di daratan kita resapkan dan meresapnya juga perlahan-lahan, itu akan menjadi sumber air baru. Kalau tidak diresapkan darimana pun air berasal, hutan, kebun maupun pemukiman kalau dibiarkan akan membebankan sungai. Apalagi kalau ditambah dengan sampah yang dibuang sembarangan. Ini akan menjadi sumbatan bagi sungai dan menimbulkan pencemaan baru bagi sumber air. Jika teknologi ini diterapkan maka banjir yang lima tahunan terjadi pasti tidak seberat sekarang ini. Saya menganggap banjir yang terjadi ini disebakan rencana umum tata ruang yang belum dilakukan dengan baik.
Setelah ada media yang mulai mengangkat hasil penelitian ini, saya merasa mempunyai tanggung jawab moral, setelah mengetahui ada teknologi yang mudah, dan kira-kira semua orang bisa menerapkannya. Saya mewacanakan ini. Dan untuk merubah kebiasaan masyarakat, harus ada perubahan persepsi, bahwa sampah itu jangan dibuang. Memang tidak mudah, karena pasti mereka berfikiran sampah akan mencemarkan pemukiman kita.
Berapa biaya yang dikeluarkan untuk lubang serapan Biopori ini?
Thursday, March 13, 2008
IS belajar LRBP kepada KRB
Lihatlah Pak Imam begitu seriusnya mendengar keluh-kesah sekaligus harapan Pak Kamir.
Pak Kamir yang mengejutkan hatiku adalah ketika mengeluhkan tanggapan beberapa pihak atas "invensi"-nya yaitu Lubang Resapan Biopori. Padahal alasannya sungguh sederhana. Di masa (jaman) ketika membuat tempat pembuangan sampah di dimensi horisontal semakin sulit, maka ya kenapa tak dibuat dimensi vertikal yang membentuk lubang-lubang resapan.
Wednesday, March 12, 2008
Kompas 8-Mar-08: Kamir, Pencetus Lubang Resapan Biopori
KOMPAS/NAWA TUNGGAL / Kompas Images |
Oleh: Nawa Tunggal
Melestarikan lingkungan hidup tak perlu teknologi yang sulit-sulit. Berbagi kepada yang miskin juga tidak perlu menunggu kaya. Itu falsafah Kamir Raziudin Brata yang sehari-hari mengajar mahasiswa di Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Kamir pula yang mencetuskan teknologi untuk melestarikan fauna tanah dengan lubang resapan biopori (LRB). Dari fungsi meresapkan air ke dalam tanah, LRB secara masif bisa mengurangi risiko banjir. LRB dibuat dengan alat sederhana sehingga Kamir menyebut tidaklah perlu teknologi yang sulit untuk melestarikan lingkungan.
Lalu, apa pula maksud dia, tak perlu menunggu kaya untuk berbagi dengan mereka yang miskin?
Sebab, LRB bisa sekaligus menampung sampah organik. Dengan sendirinya, orang pun dituntut memilah sampah nonorganik, yang kemudian dipungut pemulung sebagai nafkah.
”Tidak perlu menunggu kaya untuk berbagi kepada para pemulung,” kata Kamir sambil menunjukkan sebuah karung berisi antara lain kertas, plastik, botol, dan kaleng di sudut halaman rumahnya. Dalam sepekan, isi karung itu selalu habis dikuras para pemulung.
Liang biopori
LRB merupakan lubang silindris pada permukaan tanah. Ukurannya sengaja dibuat kecil untuk mengoptimalkan penampang vertikal tanah. Diameter yang lazim hanya 10 sentimeter. Kedalamannya cukup satu meter dengan pengertian lebih dari itu akan makin sedikit oksigen sehingga fauna tanah sulit bertahan hidup.
Alat pembuat LRB disusun dari batang pipa besi 3/4 inci. Pada ujung bawah diberi mata bor tanah dengan lebar sesuai dengan diameter lubang yang diinginkan. Pada bagian atas dibuat pipa melintang untuk memudahkan pegangan ketika ingin memakainya.
”Tukang las besi di mana-mana bisa membuatnya,” kata Kamir, pria kelahiran Cirebon yang dikaruniai dua anak tersebut.
Kerendahan hati juga mencuat pada sosok Kamir. Ia tak ingin mematenkan alat pembuat LRB meski alat tersebut ditemukannya sejak tahun 1976. Akhir-akhir ini pihak instansi IPB-lah yang ingin mengajukan paten tersebut.
Menurut Kamir, paten itu bermanfaat bagi IPB sekadar untuk mengingatkan asal-muasal LRB. Kelak akan memudahkan penelusuran metodologinya dalam kerangka teknologi untuk kelestarian lingkungan.
Padahal, pada masa awal dia memulai menerapkan LRB banyak orang yang tak menanggapinya dengan serius. Mereka justru menganggap LRB terlalu sederhana, relatif bisa dilakukan semua orang.
”Karena terlalu sederhana itu, orang mungkin jadi tidak percaya kalau LRB ada gunanya,” kata Kamir yang justru berusaha membuat alat sesederhana mungkin sehingga semua orang bisa menggunakannya.
Sosialisasi
Sejak banjir besar melanda Jakarta sekitar Februari 2007, dia makin getol menyosialisasikan LRB kepada masyarakat. Ia menyosialisasikan LRB mulai dari tingkat rukun tetangga (RT) sampai provinsi, seperti DKI Jakarta, dan beberapa universitas di Indonesia.
”Sosialisasi LRB sampai di tingkat RT sekaligus pertanggungjawaban moral seorang ilmuwan bagi masyarakat,” kata Kamir yang pada April 2007 mendapat penghargaan dari Wali Kota Bogor untuk LRB-nya itu.
LRB memperkecil ruang alasan bagi masyarakat untuk tidak mengambil peran bagi upaya pelestarian lingkungan, dengan cara meresapkan air bersih (air hujan) sebanyak-banyaknya ke dalam tanah. LRB dapat diaplikasikan pada lahan sempit dengan fleksibel sekalipun di lokasi yang secara ekstrem dibuat perkerasan 100 persen.
Pemilik rumah dapat membuat LRB pada tanah terbuka, yang sekaligus menjadi jalur masuk ke rumah. Di sini yang penting lokasi LRB disesuaikan menjadi permukaan paling rendah sehingga air hujan mengalir ke LRB. Jarak LRB satu dengan yang lain juga sangat fleksibel, bisa sampai radius 20 sentimeter dengan perkerasan bibir lubang di permukaan.
Kalau LRB berfungsi meresapkan air ke dalam tanah, lalu apa bedanya dengan sumur resapan atau situ?
”Hal paling pokok yang membedakan LRB dengan sumur resapan atau situ adalah pada terciptanya liang biopori pada LRB,” katanya.
Liang biopori merupakan terowongan-terowongan kecil di dalam tanah yang terbentuk oleh aktivitas fauna tanah seperti cacing, selain akibat sistem perakaran pohon. Liang biopori ini terisi udara dan bisa memperlancar jalur air yang meresap.
Letak beda yang juga krusial antara LRB, sumur resapan, dan situ adalah pada penambahan luas penampang tanah. Makin berkali-lipat luas penampang tanah, makin besar pula potensi meresapkan air ke dalam tanah.
Kamir membuat perbandingan luas mulut lubang dari yang terkecil dengan diameter 10 sentimeter sampai 100 sentimeter. Makin kecil diameternya, maka beda kali lipat luas penampang tanahnya makin besar.
Keanekaragaman hayati
”LRB jelas-jelas berbeda dengan sumur resapan atau situ,” ujar Kamir sambil menambahkan, LRB memiliki kompleksitas fungsi. LRB berfungsi meningkatkan laju peresapan air ke dalam tanah untuk dijadikan sebagai cadangan air tanah.
Fungsi lainnya, sampah organik di dalam LRB pada hitungan waktu tertentu juga dapat dipungut kembali sebagai pupuk kompos.
Keteruraian sampah organik di dalam LRB berkat peran biodiversitas (keanekaragaman hayati) tanah sehingga LRB sekaligus menjaga kelangsungan biodiversitas fauna tanah.
”Selama ini keanekaragaman hayati yang dijaga seperti harimau yang akan punah atau jenis satwa lainnya yang mulai langka, tetapi fauna tanah jarang dijaga kelangsungan hidupnya,” kata Kamir bernada keluhan.
Dia menambahkan, di dalam tanah ada kehidupan. Semestinya, setiap manusia juga menjaga kehidupan di dalam tanah.
Begitu tak diperhatikannya kelangsungan hidup fauna tanah, sampai-sampai Kamir kerap kali menyitir salah satu syair dalam lagu kebangsaan Indonesia Raya karya Wage Rudolph Supratman. Ini demi menunjukkan pentingnya menjaga kehidupan di dalam tanah.
Hal seperti itulah yang biasa dikemukakan Kamir saat memberikan sosialisasi fungsi LRB mulai dari tingkat RT sampai provinsi. Bait itu berbunyi, ”Hiduplah tanahku, hiduplah negeriku, bangsaku, rakyatku semuanya....”
”Kesadaran pentingnya menjaga kehidupan tanah selalu diingatkan di dalam lagu kebangsaan kita,” kata Kamir.
Bila dikaitkan dengan isu pemanasan global, menurut Kamir, LRB bisa berfungsi untuk mengikat karbon dioksida.
Belakangan, semakin banyak orang yang menerapkan LRB karena menganggap sistem ini dapat diandalkan. Namun, Kamir mengaku tak mungkin bekerja sendiri. Dia berharap banyak pihak berminat mengembangkan aplikasi LRB yang dirintisnya.
”LRB terbukti bisa untuk mengurangi genangan. Tetapi, ketika hujan terjadi, faktanya, masih timbul genangan air di mana-mana dan mengakibatkan banyak jalan menjadi rusak parah,” katanya prihatin.
Biodata
Nama: Kamir Raziudin Brata
Lahir: Cirebon, 12 Desember 1948
Pendidikan:
Sarjana Pertanian IPB, 1974; MSc Soil Physics, University of Western Australia, 1992
Pekerjaan: Dosen IPB sejak 1978.